Saturday, July 2, 2011

GLADI GUMBIRA GANDRIK

DESKRIPSI
Pembelajaran seni yang berkembang di masyarakat, pada umumnya berupa aktivitas-aktivitas yang memberikan semacam pelatihan yang memperkenalkan dan mengajarkan teknik-teknik kesenian tertentu, misalnya seni tari, seni musik, seni rupa dan seni teater. Teknik-teknik kesenian tersebut kemudian dipergunakan sebagai objek yang dilatihkan. Sehingga belajar seni lebih banyak berorientasi pada hasil dan pencapaian kemampuan melakukan teknik mempraktekkan bentuk seni tertentu. Padahal eksterior bentuk-bentuk seni tersebut sebenarnya adalah perwujudan dari sensibilitas estetis yang dimiliki oleh pencipta karya seni. Sensibilitas estetis tersebut meliputi kemampuan imajinasi, interpretasi, resepsi, sensibilitas dalam berdialektika dengan diri, orang lain dan lingkung, dll. Pada dasarnya kemampuan-kemampuan tersebut adalah kekuatan dasar yang dimiliki oleh manusia. Dengan kekuatan itulah manusia memilik kemampuan untuk menciptakan berbagai cara yang disebut sebagai KREATIVITAS untuk memberlangsungkan kehidupannya, menjalinhubungan dengan sesama manusia, lingkungan, dan membangun peradabanya.
Gladi Gumbira Teater Gandrik adalah salah satu metode LEARNING THROUG THE ART (Pembelajaran Melalui Seni) yang berbasis pada seni teater.  Pembelajaran dan belajar disini lebih nekankan pada aspek manusia, yang secara luas dimaknai sebagai proses tumbuh kembang aspek fisik (eksterior manusia) dan aspek non fisik yang berada dalam diri manusia (interior manusia). Metode ini membongkar dan mengolah kekuatan seni teater baik dari sisi praktek sebagai unsur eksteriornya, maupun sisi cara pikir dan cara merasakan sebagai unsur interiornya sehingga akan mewujud menjadi “tindakan” yang benar-benar disadari oleh diri yang bertindak secara holistik. Hal itu merupakan prinsip dasar dari teater, dimana individu manusia harus disadari sebagai sebuah kesatuan yang untuh, dimana aspek fisik dan psikis benar-benar tak terpisahkan. Stanislavski seorang tokoh aktor dan sutradara teater dari Rusia juga mempunyai kesimpulan yang sama, bahwa ide-ide, emosi dan semua sensasi senantiasa terjalin secara terus menerus. Sebuah gerakan tubuh adalah pikiran dan pemikiran yang mengekspresikan dirinya dalam sebuah bentuk fisik.

Kita bernafas dengan seluruh tubuh, dengan tulang rusuk, dengan tangan dan dengan kaki kita, meskipun organ pernafasan kita yang memimpin semua prosesnya. Kita berjalan dengan seluruh tubuh fisik dan non fisik kita, dengan pikiran yang menentukan arah dan tujuannya, dengan perasaan yang mengatur kecepatannya, dengan otot-otot kaki, lengan dan sebagainya. Dengan metode latihan-latihan berbasis teater diharapkan tiap-tiap individu  akan memiliki kesadaran dan kemampuan mengelola dan mengoptimalkan segala yang ada dalam diri sebagai sebuah proses menciptakan kapasitas untuk pemulihan, restrukturisasi, reharmonisasi. Setiap aktivitas di dalam latihan adalah refleksi fisik dan non fisik masing-masing diri. Sebuah monolog yang sangat personal sekaligus dialog komunal. 
Di dalam Gladi Gumbira Teater Gandrik, secara praktek peserta akan diberikan kesempatan untuk mempelajari dan mengalami langsung aktivitas-aktivitas pembelajaran kreatif berbasis teater yang atraktif, mudah dilakukan dan menyenangkan. Bentuk aktivitas meliputi aktivitas individual (ruang eksplorasi personal) dan juga komunal (ruang interaksi – eksplorasi komunal). Melalui aktivitas-aktivitas tersebut peserta akan diajak untuk mengolah kemampuan interior dan eksterior diri secara optimal. Mulai dari fisik otot (pernafasan, motorik, vokal) yang membantu untuk menyadari dengan cara yang lebih dalam tentang tubuhnya, otot syarafnya, hubungan dengan tubuh-tubuh lain, dengan grafitasi, dengan objek di luar diri, dengan ruang, dimensinya, volume, berat, kecepatan, dan seterusnya. Tiap-tiap individu akan diberikan ruang untuk memproyeksikan, menemukan dan mengekspresikan diri mereka dan menemukan kesenangan dalam menciptakan proses tumuh dan saling menumbuhkan. Dengan proses semacam itu diharapkan potensi-potensi diri baik dari aspek fisik maupun aspek non fisik akan disadari dan ditemukan oleh diri sendiri sebagai sebuah kekuatan dan modal untuk proses-proses lainnya yang akan mereka lakoni selanjutnya dibidang lain.
 
TUJUAN Gladi Gumbira Teater Gandrik
1.    Memberikan wacana sekaligus pengalaman langsung mengenai kebermanfaatan seni teater dan kesenian teater.
2.    Menyediakan ruang belajar alternatif yang akan membantu mengasah sensibilitas estetis dengan media seni teater.
3.    Menyediakan aktifitas berbasis teater yang kreatif dan menyenangkan namun tetap memiliki konten edukatif.
SASARAN PROGRAM 
Masyarakat non seni, baik individual maupun institusional.
Dalam satu periode pelaksanaan jumlah minimal perserta adalah 20 orang dan maksimal 40 orang.
Tempat Pelaksanaan

Program Gladi Gumbira Teater Gandrik dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut, setiap hari selama 7 jam (09.00 s/d 16.00 WIB).

Venue Yogyakarta:
Padepokan Seni (rumah budaya yang dikelola oleh YBK)
Kembaran RT 04/RW 21, Tamantirto
Kec. Kasihan, Kab. Bantul – DIY

Venue luar Yogyakarta:
Sesuai dengan koordinasi antara pihak management Teater Gandrik dan mitra program.
 
Fasilitas
1)    Fasilitasi materi dari seniman anggota Teater Gandrik
2)    Konsumsi:
a.    Makan siang
b.    Coffe break, 2 kali sehari
3)    Peralatan dan material workshop
4)    CD dokumentasi
5)    Sertifikat
PENYELENGGARA
TEATER GANDRIK
Kompleks Padepokan Seni Bagong Kussudiardja
Kembaran RT 04/RW 21, Tamantirto
Kec. Kasihan, Kab. Bantul - DIY
Tel/fax: 0274 376394

Pimpinan Teater Gandrik
Heru Kesawa Murti
Hp       : +628164266847

LEARNING THROUGH THE ART Childern’s Theater Project


 APA itu Learning through the Art???
Pembelajaran seni yang berkembang di masyarakat, pada umumnya berupa aktivitas-aktivitas yang memberikan semacam pelatihan yang memperkenalkan dan mengajarkan teknik-teknik kesenian tertentu, misalnya seni tari, seni musik, seni rupa dan seni teater. Teknik-teknik kesenian tersebut kemudian dipergunakan sebagai objek materi pembelajaran. Sehingga belajar seni lebih banyak berorientasi pada hasil dan pencapaian kemampuan melakukan teknik mempraktekkan bentuk seni tertentu. Padahal eksterior bentuk-bentuk seni tersebut sebenarnya adalah perwujudan dari sensibilitas estetis yang dimiliki oleh pencipta karya seni. Sensibilitas estetis tersebut meliputi kemampuan imajinasi, interpretasi, sensibilitas membaca diri, orang lain dan lingkung, dialektika, dll. Pada dasarnya kemampuan-kemampuan tersebut adalah kekuatan dasar yang dimiliki oleh manusia. Dengan kekuatan itulah manusia memilik kemampuan untuk menciptakan berbagai cara yang disebut sebagai KREATIVITAS untuk memberlangsungkan kehidupannya, menjalinhubungan dan dialektika dengan sesama manusia, dan membangun peradabanya.

Seperti apa to Learning through the art TEATER GANDRIK????

Childern’s Theater Project adalah salah satu metode LEARNING THROUG THE ART yang berbasis pada seni teater.  Metode ini membongkar dan mengolah kekuatan seni teater baik dari sisi praktek sebagai unsur eksteriornya, maupun sisi cara pikir dan cara merasakan sebagai unsur interiornya sehingga menjadi sebuah pembelajaran dan cara belajar yang kreatif. Pembelajaran dan belajar disini lebih nekankan pada aspek manusia, yang secara luas dimaknai sebagai proses tumbuk kembang aspek fisik (eksterior manusia) dan aspek non fisik yang berada dalam diri manusia (interior manusia).

Di dalam Childern’s Theater Project, secara praktek anak-anak akan diberikan kesempatan untuk mempelajari dan mengalami langsung aktivitas-aktivitas pembelajaran kreatif berbasis teater yang atraktif, mudah dilakukan dan menyenangkan. Bentuk aktivitas meliputi aktivitas individual (ruang eksplorasi personal) dan juga komunal (ruang interaksi – eksplorasi komunal). Melalui aktivitas-aktivitas tersebut mereka akan diajak untuk memproyeksikan, menemukan dan mengekspresikan diri mereka dan menemukan kesenangan dalam ‘belajar’. Dengan proses semacam itu diharapkan potensi-potensi diri baik dari aspek fisik maupun aspek non fisik akan disadari dan ditemukan oleh diri sendiri sebagai sebuah kekuatan dan modal untuk proses-proses pembelajaran lainnya yang akan mereka lakoni selanjutnya dibidang lain.

Friday, July 1, 2011

SRAWUNG SAMBUNG TEATER GANDRIK

SRAWUNG SAMBUNG TEATER GANDRIK
Gandrik dan Kebaruan Diri
Bulan September 2010 lalu Teater Gandrik merayakan ulang tahun ke 27 dengan sebuah hajatan personal pembacaan sejarah diri. Teater Gandrik melakukan pemetaan dan memetakan keberadaan dirinya atas keberadaan universal. Kemudian teater Gandrik membaca sebuah kenyataan bahwa ia tidak hanya lahir, hadir dan bertumbuh di tanah kehidupan masyarakat teater namun juga memiliki keterhubungan dengan kehidupan masyarakat umum di Yogyakarta pada khususnya, Indonesia dan Dunia pada umumnya. Teater Gandrik juga bertanya pada dirinya sendiri, bukan hanya tentang apa yang telah ia dapatkan dari masyarakat teater dan masyarakat universalnya namun juga apa yang telah ia berikan kepada mereka.
Teater Gandrik kemudian berfikir tentang apa yang dirasakan dan merasakan apa yang difikirkan, kemudian ditemukanlah sebuah kesadaran bahwa pertunjukan belumlah cukup menjadi persembahan diri kepada segala sesuatu yang berada di luar diri (lingkungan, orang lain, masyarakat teater lain dan masyarakat universal), bila mengingat betapa besar kontribusi mereka atas penciptaan keberada Teater Gandrik sampai menjadi seperti sekarang ini. Berpegang pada falsafah Jawa “migunani tumpraping liyan”  (bermanfaat bagi yang lainnya), Teater Gandrik merasa bahwa seharusnya ia bisa menciptakan lebih banyak hal yang memiliki nilai guna bagi “yang lainnya” (lingkungan, orang lain, masyarakat teater lain dan masyarakat universal).
Untuk itulah kemudian Teater Gandrik menciptakan cara baru untuk menciptakan sesuatu yang “migunani tumpraping liyan” (bermanfaat bagi yang lainnya) dalam bentuk program “Teater untuk Masyarakat”. Dalam Program ini Gandrik menciptakan peran diri bukan sebagai guru atau narasumber namun sebagai fasilitator yang membantu terciptanya peristiwa tumbuh dan saling menumbuhkan bersama dengan Gandrik.
Gandrik percaya bahwa setiap keberadaan individu  tersimpan kekayaan diri dan di dalam program inilah, melalui kekuatan seni teater dan seni berteater Gandrik segala kekayaan tersebut digali, dipelajari, disadari dan saling dibagi. Program yang telah dikembangkan oleh Gandrik dalam bingkai besar program “Teater untuk Masyarakat” antara lain: Srawung Sambung program residensi.

A.   DESKRIPSI PROGRAM SRAWUNG SAMBUNG
Sebuah peristiwa hidup bersama dengan Teater Gandrik dimana ruang-ruang dialog, interaksi dan peristiwa tumbuh dan saling menumbuhkan akan diciptakan bersama. Program residensi dalam jangka waktu tertentu minimal 7 (tujuh) hari. Di mana dalam setiap harinya ruang-ruang dialog dan interaksi intensif akan diciptakan secara bersama-sama. Residensi Srawung Sambung bukan hanya akan memfasilitasi proses dan ruang pembongkaran teknik-teknik praktek keteateran Gandrik di atas panggung, namun juga lebih mendalam mengenai pengalaman-pengalaman hidup kreatif dan sosial Teater Gandrik, cara Gandrik berfikir dan memikirkan teater, cara Gandrik merasakan teater, cara Gandrik bertindak dan melakoni teater.
Selama minimal 7 (tujuh) hari bersama dengan Gandrik peristiwa-peristiwa yang akan dibangun dan dilakoni bersama adalah sebagai berikut:
Workshop Keteateran Gandrik
1)    Workshop Teknik Penulisan Naskah Gandrik –
2)    Olah Tubuh Gandrik –
3)    Teknik Keaktoran Gandrik –
4)    Pengembangan dan Desain Program dalam Teater Gandrik (Teater untuk Masyarakat) –
5)    Teater untuk Pemberdayaan Masyarakat –
6)    Game untuk aktor dan Non Aktor  (Teater di atas Kesadaran) – 
Presentasi Orientasi dalam Teater
1)    Awal program Sambung Srawung
2)    Akhir program Sambung Srawung
Orientasi Ruang Seni di Sekitar Lingkungan Hidup Gandrik
1)    Kunjungan ke studio penciptaan teater-teater Jogja.
2)    Kunjungan ke tokoh-tokoh (Teater Gandrik dan Kelompok Seni lain).
3)    Kunjungan ke presentasi seni dan kesenian di Jogja (pertunjukan, pameran, dsb).

B.   TEMPAT RESIDENSI

TEATER GANDRIK
Kompleks Padepokan Seni (rumah budaya yang dikelola oleh YBK)
Kembaran RT 04/RW 21, Tamantirto
Kec. Kasihan, Kab. Bantul – DIY
Tel/fax: 0274 376394

C.   FASILITAS
1)    Fasilitasi materi dan administrasi pelaksanaan agenda dari seniman anggota Teater Gandrik.
2)    Akomodasi (Rumah Residensi).
3)    Asisten orientasi budaya.

D.   PENYELENGGARA
TEATER GANDRIK
Koordinator Program Residensi Srawung Sambung Teater Gandrik
A LINDA MAYASARI
Kompleks Padepokan Seni Bagong Kussudiardja
Kembaran RT 04/RW 21, Tamantirto
Kec. Kasihan, Kab. Bantul - DIY
Tel/fax: 0274 376394

Tuesday, September 14, 2010

CATATAN PROSES KELUARGA TOT----TEATER GANDRIK ---

LIMA ALASAN KENAPA MUSTI NONTON "KELUARGA TOT" TEATER GANDRIK

oleh BUTET KARTAREDJASA pada 14 April 2009 jam 13:05
PESAN SEKARANG KATIMBANG KEHABISAN. Teater Gandrik Yogyakarta manggung di GBB - Taman Ismail Marzuki, Jakarta,l 17 s/d 20 April 2009, pkl: 20.00. pesan tiket, melalui DEVI: 081514224649, 021-3915012

... Ketika Masyarakat dipaksa menerima “Kebenaran”
meski ia tak menyukainya ...

TOT FAMILY (a play from Hungary), Teater Gandrik Yogyakarta
… When the people was forced to accept “the Truth”
even though they don’t like it …

Karya /Written by : Istvan Orkeny Diterjemahkan oleh / Translate by : Adi Krishna, Sukasah Syahdan, Wendy A.G. Bale Disunting untuk dilakonkan Teater Gandrik oleh / Edited for the performance of Teater Gandrik by : Heru Kesawa Murti, Agus Noor Penyutradaraan / Dircected by : Jujuk Prabowo, Butet Kartaredjasa Penata Musik / Music Director : Djaduk Ferianto Para Pendukung / Players : Butet Kartaredjasa, Susilo Nugroho, Heru Kesawa Murti, Sepnu Eryanto, Jujuk Prabowo, Whani Dharmawan, Rulyani isfihana, Dia Arum dll Penata Cahaya / Lighting : Clink Sugiarto Penata Suara / Sound : Antonius Gendel

KELUARGA TOT (sebuah lakon Hongaria)
Oleh Teater Gandrik Yogyakarta
Graha Bhakti Budaya
17 - 20 April 2009, pukul 20.00 WIB
HTM : Rp. 50.000,- Rp. 100.000,- Rp. 150.000,-


Teater Gandrik akan mementaskan lakon komedi Keluarga Tot di Jakarta (TIM, 17-20 April 2009) dan Yogyakarta (Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, 29-30 April 2009). Inilah wawancara dengan Butet Kartaredjasa seputar lakon dan pementasan itu, dan lima alasan kenapa kita harus menonton pertunjukan ini.

- Gandrik sepertinya memang "hidup lagi", maksudnya ada energi yang membuat Gandrik jadi produktif setelah pementasan Sidang Susila kemarin. Ini bila dibandingkan periode sebelumnya, dimana setelah pentas Gandrik butuh jeda yang panjang untuk pentas kembali. Kira-kira apa yang menyebabkan?

Butet:
Saya selalu mengharapkan pementasan Gandrik harus diawali adanya dorongan "kebutuhan bersama". Bukan kebutuhan orang per orang. Bahwa nyatanya, teman-teman Gandrik -- yang tua dan yg muda -- menunjukkan gairah untuk berproduksi after "Sidang Susila", harus saya yakini bahwa semuanya itu disebabkan adanya "kebutuhan bersama" itu. Entah apa itu. Mungkin macem-macem motifnya. Mungkin ada yang motifnya menemukan kembali kegembiraan kreatif ala Gandrik, ada yg memaknai sebagai terapi kesehatan, ada yang meyakini teater sebagai ikhtiar mengartikulasikan pikiran, ada yg bermaksud melakukan pengembaraan artistik, ada yg berniat mengenal dan mempelajari estetika Gandrik, ada yang ingin menguji kemampuan keaktoran, juga barangkali ada yang ingin berbagi pengalaman untuk sebuah proses regenerasi. Yang pasti, kesemuanya itu bisa diartikan sebagai "kebutuhan bersama", sehingga semua bisa memberikan dedikasi secara iklhas terhadap proses penciptaan. Penciptaan kolektif dimana semuanya berlomba untuk memberikan kontribusi kreativitas.

- Bisa diceritakan sedikit tentang lakon "Keluarga Tot" ini? Setidaknya kenapa Gandrik merasa tertarik untuk mementaskannya.

Butet:
Salah satu kritik yang kerap dilontarkan kepada Gandrik adalah dominasi pada guyonan verbalnya, sehingga terkadang cenderung mengabaikan sastra lakon. Padahal ada kekuatan dalam sastra lakon yang juga menarik untuk dieksplorasi secara serius, dan itu ditemui dalam Keluarga Tot. Setidaknya, dengan mementaskan lakon ini, akan menjadi semacam tantangan bagi Gandrik, untuk mendapatkan pengalaman baru dalam penjelajahan penciptaan tontonan komedi sebagaimana selama ini digumuli. Pasti akan unik jika Gandrik menjajal berjenaka-ria dengan disiplin yang berbeda. Menurut saya, pertemuan antara tradisi teater realis yang musti cermat dengan sastra lakon yg juga kuat, dengan tradisi gojekan Gandrik yang selalu ber-"guyon parikeno" -- akan menghasilkan sesuatu yang menarik. Baik bagi penontonnya, dan terutama bagi para pelakonnya.

- Mengingat ini adalah lakon "asing", lakon yang ditulis oleh orang di luar komunitas Gandrik, apa yang menarik dari proses ini. Setidaknya apakah proses itu kemudian juga memperkaya dramaturgi Gandrik?

Butet:
Bener banget. Dengan bahan baku (naskah) yang tak lazim dalam tradisi Gandrik, dan komitmen untuk "bersetia" pada sastra lakonnya, -- pastilah akan memperkaya pengalaman Gandrik. Minimalnya, para aktornya akan mencicipi model guyonan yang lain. Dan semakin menyadari bahwa pertunjukan teater bukan sekadar bentuk pemanggungan kritik verbal, bukan hanya untuk memanen tawa, bukan cuma pameran keindahan seni peran -- tapi juga penghormatan terhadap teks sastra dan pencermatan kepada karakter yang dilakonkan. Kalau pun ada tawa atau kelucuan, itu adalah karena situasi dan karakter-karakternya. Mudah-mudahan ini juga menjadi kesadaran atas "kebutuhan bersama" untuk terus membuat Gandrik dinamis itu.

- Anda menyebut soal adanya "kebutuhan bersama" setiap Gandrik manggung, tapi pada sisi lain juga ada penghayatan yang berda dalam prosesnya. Ini memperlihatkan bahwa Gandrik sesungguhnya tidak homogen, tapi ada banyak personil dengan orientasi yang tak sama. Mungkin ini yang menarik untuk diketahui publik; bagaimana gandrik mengelola heterogenitas di dalamnya, terutama saat proses...

Butet:
Perbedaan orientasi dan motivasi dari para personelnya bukannya tak disadari. Justru karena disadari, maka berproses di Gandrik akhirnya bukan semata-mata belajar hal-hal yang bersifat artistik, tetapi juga belajar kesabaran...hua ha ha... Kerennya, belajar berdemokrasi, meskipun itu terkadang melelahkan dan menjadi tidak efisien. Kesadaran menghilangkan otoritas "sutradara" atau “penguasa tunggal”, dan menggantinya dengan partisipasi banyak orang serta memperkuat fungsi trafick, mungkin merupakan salah upaya untuk menjaga heterogenitas itu. Ini dalam konteks proses kreatif. Hal lain, di sektor organisasi, barangkali adanya kesadaran berkesenian secara lebih rileks, tidak mbentoyong, transparansi dalam semua hal, dan tetap menjadikan guyonan sebagai semangat pergaulan.
Mungkin yang perlu diketahui, sekarang ini pimpinan Gandrik bukan saya lagi. Tapi Heru Kesawa Murti. Ini keputusan rapat awal tahun 2009. Jadi kekuasaan diupayakan beredar. Meskipun ganti pimpinan, harapannya, hal ini tidak mengganggu proses kreatif. Karena kepemimpinan itu lebih disebabkan kebutuhkan sebuah organisasi.

- Mumpung sekarang lagi anget soal Pemilu yang katanya adalah proses demokrasi. Mungkinkah, apa yang terjadi dalam Gandrik itu bisa dijadikan semacam model pembelajaran bagi proses demokrasi?

Butet:
Jelas, sangat mungkin diadopsi. Terutama kesadaran untuk selalu menertawakan setiap kecenderungan megalomania. Jika dalam Pemilu kita melihat banyak caleg yg ge-er merasa dirinya penting, megaloman abis, dalam tradisi Gandrik yang begituan pasti akan jadi obyek guyonan. Berdemokrasi bukanlah ngotot dan ambisi untuk jadi penguasa, melainkan kesediaan untuk bersabar, belajar mendengar, dan bekerja keras dalam kolektivitas secara ikhlas.

- Lumayan sedikit kelompok teater yang berumur panjang. bagaimana kemampuan Gandrik dalam mengupayakan memperpanjang umurnya?

Butet:
Merawat atmosfer kreatif dalam semangat kejenakaan, dan melakukan kegiatan secara produktif. Dan itu tak harus berupa pementasan. Heru Kesawa, misalnya, mulai menggagas bikin kelas pelatihan seni peran untuk publik, semacam jual jasa pelatihan. Melihat perkembangan terakhir interaksi Gandrik-tua dengan Gandrik-muda, saya optimis transformasi "roh" Gandrik bisa berlangsung dengan baik. Soalnya, berteater di Gandrik bukan sekadar akting dan pencapaian artistik, tetapi juga dihidupi oleh "roh" itu. Aku nggak tahu apa rumusan tentang "roh" itu. Mungkin semacam spirit teater rakyat: penuh spontanitas dan harus tangkas dalam situasi apa pun. Baik untuk perkara panggung maupun organisasi.

- Nah, sekarang langsung ke pementasan Keluarga Tot. Tolong sebutkan, minimal 3 saja alasan, kenapa pementasan ini menarik untuk ditonton?

Butet:
Pertama, ini lakon realis yang kuat dan kocak, dimainkan oleh Gandrik yang juga rombongan orang-orang kocak. Ini sebuah model guyonan baru bagi Gandrik. Kedua, penonton bakal melihat keunikan bagaimana Gandrik mencoba membenturkan dua kultur: Jawa dan Hongaria. Ketiga, ini penting untuk penonton, supaya mereka tetap waspada terhadap ancaman pemaksaan hegemoni dari kekuatan-kekuatan tertentu yang selalu berulang. Kalau boleh menambahkan, keempat: pertunjukan ini bisa menjadi terapi yang menyehatkan pikiran bagi para caleg yang gagal, agar tidak menjadi penghuni permanen Rumas Sakit Jiwa. Kelima, bagi caleg yang yakin kepilih, menonton pertunjukan ini akan memberikan keseimbangan jiwa pula, agar tetap bisa menjaga akal sehat ketika mengemban amanah rakyat. Nah, cukup lima saja, biar klop kayak Pancasila.

TEATER GANDRIK-sebuah catatan-

Teater Gandrik - didirikan Jujuk Prabowo, Heru Kesawa Murti, Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto dll - merupakan salah satu kelompok teater kontemporer Indonesia yang mampu mengolah bentuk dan spirit teater tradisional dengan gaya pemanggungan modern. Sejak terbentuk 12 September 1983, dan melewati pasang surut kreatif bahkan masa-masa vakum yang menggelisahkan,
Teater Gandrik senantiasa mencoba dan mengembangkan semangat “guyon parikena” dalam pertunjukannya.
Tahun 1980-1990, bisa dibilang menjadi tahun-tahun produktif Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan seperti Meh, Kontrang-Kantring, Kesandung (1983), Pasar Seret (1985), Pensiunan, Sinden (1986) Dhemit, Isyu (1987) Orde Tabung, Juru Kunci, (1988), Upeti, Juragan Abiyoso (1989), Proyek (1991) yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu. Ketika hagemoni kekuasaan Orde Baru begitu kuat, lakon-lakon Teater Gandrik mampu menjadi medium untuk melakukan kritik sosial sekaligus katarsis politik.
Menurut DR Faruk, lakon-lakon Teater Gandrik merupakan “manifestasi teateral dan modern dari pola kritik varian rakyat kecil”, terutama rakyat kecil Jawa, dengan menggunakan “guyon parikena”, menyindir secara halus yang tidak menimbulkan kemarahan yang berkuasa, dan bahkan seperti mengejek diri sendiri walau pun sesungguhnya yang dibidik adalah orang lain (yang tengah berkuasa).
Model kritik “guyon parikena” dan semangat mengolah bentuk-bentuk teater tradisional ke dalam bentuk pementasan teater modern, menjadi dua hal penting yang menjadi orientasi estetis lakon-lakon Teater Gandrik. Itulah sebabnya, oleh banyak kritikus, Teater Gandrik kemudian disebut sebagai kelompok yang mengembangkan estetika sampakan. Di mana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung “memain-mainkan karakter” dalam lakon-lakonnya, sehingga tak ada batasan yang jelas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”. Inilah pola permainan gaya sampakan, yang oleh para personil Teater Gandrik disebut sebagai pengembangan dari pola permainan yang mereka temukan pada banyak teater tradisional di Indonesia.

Para personil dan penggiat Teater Gandrik yang di kemudian hari diperkuat Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Whani Darmawan dll, memang tumbuh dalam lingkungan tradisi (Jawa) yang kental. Lingkungan tradisi inilah yang banyak memberi warna pada pementasan-pementasan Teater Gandrik. Tradisi itu juga menjadi jalan bagi Teater Gandrik untuk mencari (dan menemukan) identitas estetiknya. Namun begitu para personil Teater Gandrik juga mengalami modernisasi, yang mengakibatkan mereka memiliki keinginan untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana mereka kemudian memasuki “sebuah dunia baru yang bernama Indonesia”.
Sebagai komunitas kreatif, Teater Gandrik sangat fleksibel dalam keanggotaan. Dalam pengertian, keanggotaan Teater Gandrik hanya “diikat” oleh kebersamaan dalam melakukan pencarian idiom-idiom teaterikal yang ingin mereka capai bersama. Tidak mengherankan, apabila banyak anggotanya yang kemudian keluar masuk, berganti-ganti personil. Yang jelas, sampai sekarang beberapa personil Teater Gandrik terus berupaya membangun soliditas kelompok dengan terus melakukan proses bersama. Hal itu bisa terlihat melalui beberapa pementasan mereka berikutnya, yakni Brigade Maling, Mas Tom, Departemen Borok, Dewan Perwakilan Rayap, Sidang Susila, Keluaarga Tot dan Pandol. Lakon Brigade Maling, pada tahun 1999, malah sempat dipentaskan di Monash University Australia. Sebelumnya, pada tahun 1990 dan 1992 Teater Gandrik juga mementaskan lakon Dhemit dan Orde Tabung di Singapura dan Kuala Lumpur Malaysia.
Salah satu upaya dalam membangun soliditas grup dilakukan dengan menjadikan Tater Gandrik sebagai suatu kelompok terbuka, dimana para angota (yang baru maupun yang lama) terus melakukan proses dan pencarian bersama untuk menemukan idiom-idiom teater yang relevan dan orisinil bagi pementasan-pementasan berikutnya.
Upaya lain yang dilakukan Teater Gandrik ialah dengan membangun sistem internal yang lebih tertata dan terencana. Dengan begitu, secara manajemen, Teater Gandrik bisa menjadi kelompok teater yang bersifat modern. Itulah yang menjadi kesadaran dan paradigma berfikir Teater Gandrik, bahwa sebuah kelompok teater tak bisa lagi hanya berfungsi sebagai media pergaulan bersama dan medan pengembaraan artistik, tetapi juga mesti mampu menjadi media yang memungkinkan setiap orang menjadi manusia kreatif. Latar pemikiran seperti itulah, yang kemudian membawa Teater Gandrik berada dalam lingkungan Yayasan Bagong Kussudiardja, yang kian memungkinkan bagi Teater Gandrik untuk terus mengembangkan diri.***http://teatergandrik.blogspot.com/2009/03/naskah-lakon-teater-gandrik.html

Wednesday, August 4, 2010

gandrik menurut kawan gandrik

Teater Itu Dinamakan Gandrik (Sejak 1983)
Profil Teater Gandrik oleh Muhammad Abe

Pada awalnya di tahun 1982 adalah Camat Mantrijeron bernama Kasiharto, yang mencari para seniman yang tinggal di daerahnya untuk membentuk kelompok teater untuk mewakili kecamatannya dalam Festival Pertunjukan Rakyat tingkat lokal . Ia segera menghubungi Jujuk Prabowo untuk mengumpulkan seniman-seniman untuk terlibat dalam rencananya itu, Jujuk Prabowo kala itu telah terkemuka di Yogyakarta sebagai aktor dan sutradara di kelompok teater Dinasti yang telah punya nama di Yogyakarta. Jujuk mengajak Novi Budianto dan Saptaria Handayaningsih koleganya di Teater Dinasti, serta beberapa orang tetangganya, para seniman teater yang ia kenal melalui pergaulan luasnya di dunia teater Yogyakarta waktu itu, maka berkumpul Heru Kesawa Murti (Teater Kerabat), Susilo Nugroho (Teater Kita-Kita), Sepnu Heryanto. (Teater Gembala), dan Mbah Kartono. Tidak semuanya tinggal di Kecamatan Mantrijeron, namun hubungan pertemanan antara mereka yang membuat tidak ada yang bisa menolak tawaran ini.
Kelompok tanpa nama ini mementaskan naskah KESANDUNG (karya Fajar Suharno, 1982) untuk kompetisi tingkat provinsi tahun 1982 dan MEH (karya Heru Kesawa Murti, 1983) untuk kompetisi tingkat nasional pada tahun 1983 memenangkan lomba teater hingga di tingkat provinsi, dan kemudian tingkat nasional. Sejak awal mereka sudah tampil agak berbeda dengan menampilkan guyonan parikena yang akrab dalam kehidupan sehari-hari Yogyakarta ke dalam panggung pertunjukan modern, sesuatu yang masih menjadi ciri khas Gandrik hingga saat ini. Camat Mantrijeron yang terkejut dengan prestasi yang dihasilkan kelompok ini sempat mengucap, “Gandrik tenan iki koe cah” (Mengejutkan sekali kalian ini-pen) mengekspresikan keterkejutan dan kegembiraannya atas prestasi yang diraih kelompok ini. Jujuk dan teman-teman kemudian menyepakati Gandrik sebagai nama kelompok mereka, karena kejutan-kejutan dan kegembiraan yang mereka rasakan selama proses menuju pertunjukan dan juga yang ingin mereka sampaikan kepada para penonton.
Sebenarnya tidak ada rencana Gandrik akan terus dipertahankan, karena masing-masing orang yang tergabung di dalamnya mempunyai kelompok. Namun tawaran-tawaran untuk pentas terus berdatangan, salah satunya syuting di TVRI Pusat Jakarta dan TVRI Yogyakarta, bersamaan dengan bergabungnya Butet Kertaredjasa, Djadug Ferianto, dan Rullyani Isifihana menambah kuat formasi Gandrik pada tahun 1983. Periode antara tahun 1982 hingga 1992 adalah periode paling produktif bagi Teater Gandrik, setiap tahun selalu muncul repertoar pertunjukan baru dipentaskan di Yogyakarta, Jakarta, serta kota-kota di Jawa Tengah, Sumatera, dan Kalimantan. Setelah tahun 1992, para personil Gandrik disibukkan dengan urusan pribadi masing-masing dan mengurangi frekuensi pertunjukannya, selain itu antara tahun 1993 hingga menjelang akhir tahun 2000 Gandrik juga mencoba media baru, sinetron televisi dan sandiwara radio.
Kembali ke panggung pertunjukan pada tahun 1999 dengan BRIGADE MALING,(Naskah: Heru Kesawa Murti) yang sempat dipentaskan di Melbourne Australia, selanjutnya Gandrik menghasilkan empat karya pertunjukan hingga tahun 2009. Kini Gandrik berusaha untuk memulai regenerasi dengan mengajak aktor-aktor muda Yogyakarta bergabung dan terlibat dalam dua proses pertunjukan mereka yang terakhir (SIDANG SUSILA, karya Ayu Utami, 2008 dan KELUARGA TOT, karya Istvan Orkeny, 2009), sebuah usaha untuk terus menjaga nafas kelangsungan Teater Gandrik lebih lama lagi.
Hampir semua anggota awal Teater Gandrik lahir dan melewatkan masa kecil di Yogyakarta, pertemuan mereka dengan lingkungan teater telah dimulai ketika mereka masih belia. Masa remaja mereka dilewatkan dengan menikmati teater, baik yang tradisional maupun yang modern di kampung-kampung maupun di gedung-gedung pertunjukan. Kedekatan masing-masing personil pada tradisi seni pertunjukan Jawa itu yang menjadi sumber inspirasi pertunjukan-pertunjukan Gandrik. Baik Heru Kesawa Murti, maupun Jujuk Prabowo yang banyak berfungsi sebagai pemicu ide-ide kreatif Gandrik mengaku pertunjukan-pertunjukan Gandrik tidak bisa dilepaskan dari pola-pola kethoprak, srandul, ataupun tari jawa, namun penampilan mereka juga bisa diterima di panggung pertunjukan modern.
Bagi Heru Kesawa Murti, sebutan sampakan atau Brecht Jawa yang dilekatkan pada pertunjukan Gandrik adalah cara orang-orang di luar Gandrik menerima ide-ide teater Gandrik. Heru Kesawa Murti mengaku proses menuju ke pertunjukan Gandrik tidak selalu ditujukan untuk membuat kelucuan-kelucuan, aktor-aktor yang masuk ke Gandrik justru dituntut untuk jujur dengan pribadi dan kemampuannya masing-masing, baik di atas panggung maupun di luar panggung. Dengan kejujuran tersebut interaksi antar personil bisa berlangsung dengan lancar, dari interaksi yang berlangsung antar personil Gandrik inilah warna-warna yang kuat pada pertunjukan-pertunjukannya. Dalam bahasa Jujuk Prabowo, “proses Gandrik lebih menonjolkan sifat-sifat alamiah kita sebagai manusia, teknik itu penting tapi ada saatnya teknik harus digunakan dan ada saatnya teknik itu dimentahkan.” Interaksi yang kuat antar personil Gandrik inilah yang mereka sebut sebagai “ngeng”, untuk menggambarkan bagaimana para aktor dapat dengan cepat saling mengerti maksud kawannya di atas panggung. Selain itu kelucuan-kelucuan dalam pertunjukan bisa muncul dan mengalir karena para aktor dibebaskan untuk mencari bentuknya masing-masing, karena di Gandrik tidak ada sutradara tunggal yang menentukan dan mengarahkan estetika pertunjukan. Estetika tersebut dibangun bersama-sama di dalam proses, Heru Kesawa Murti bertugas menulis lakon dan mengawalnya hingga bentuk panggungnya, sementara Jujuk Prabowo menata koreografi tari dan kostum, dan Djadug Ferianto memberi sentuhan musik. Sisanya para aktor bertugas untuk mencari dan memunculkan karakternya masing-masing.
Pertunjukan Gandrik selalu diingat karena kelucuan dan kejutan-kejutan yang muncul di dalamnya. DHEMIT (karya Heru Kesawa Murti, 1987) dan ORDE TABUNG (karya Heru Kesawa Murti, 1988) adalah dua karya yang selalu diingat para personil Gandrik sebagai karya mereka yang menggambarkan bagaimana keliaran proses Gandrik berlangsung. Naskah Dhemit ditulis Heru Kesawa Murti, bercerita tentang bagaimana kerusakan lingkungan bukan hanya merupakan ancaman bagi manusia tapi juga makhluk-makhluk halus yang berada di sekitarnya. Proses untuk menuju pertunjukan Dhemit ini selalu diingat sebagai proses yang sangat panjang, karena masing-masing personil Gandrik dapat menunjukkan keliaran masing-masing dan mengeluarkan ide-ide gilanya. Dhemit tercatat sebagai karya yang paling sering dipanggungkan Gandrik, dari tahun 1987 hingga 1990 sejumlah 22 kali pertunjukan.
Sementara Orde Tabung masih dianggap sebagai karya naskah Heru Kesawa Murti yang terbaik, keliaran ide yang tertuang di Orde Tabung merupakan karya yang dianggap menunjukkan ciri khas Heru Kesawa Murti, melalui sindiran-sindiran halusnya yang dibungkus dalam bentuk guyonan dan lelucon serta respons para aktor yang dengan cepat menampilkannya dalam bentuk pertunjukan Gandrik yang menghibur tapi juga berusaha untuk reflektif. Ketika Dhemit dan Orde Tabung dipentaskan di Yogyakarta pada tahun 1987 dan 1988, masih banyak yang mengingat bagaimana pertunjukan Gandrik tersebut mampun menyedot khalayak luas masyarakat Yogya pada waktu itu.
Setelah Brigade Maling tahun 1999, Gandrik berusaha untuk terus melakukan pencarian di dalam pertunjukan-pertunjukannya. Mereka mencoba untuk mengadaptasi naskah-naskah asing untuk dipentaskan, adalah MAS TOM (adaptasi dari Tom Jones karya Henry Fielding, 2002) dipentaskan pada tahun 2002-2003, lalu KELUARGA TOT (adaptasi dari Toth Family karya Istvan Orkeny) dipentaskan pada tahun 2009, menjadi semacam usaha Gandrik untuk tidak hanya bergantung pada pakem yang telah melekat pada pertunjukan-pertunjukan mereka. Selain itu pada tahun 2008, Gandrik juga memanggungkan Sidang Susila, karya Ayu Utami.
Sejak Sidang Susila Gandrik juga mengajak aktor-aktor muda Yogyakarta untuk terlibat dalam proses pertunjukan mereka, hal ini menurut Heru merupakan bagian dari usaha Gandrik untuk mengenal masyarakat kini, selain untuk memberi warna baru dalam pertunjukan-pertunjukan mereka. Para personil Gandrik kini melihat jaman yang sedang berubah, konteks sosial lingkungan yang mereka tinggali kini mempunyai tuntutan-tuntutan yang berbeda dengan tahun 1980-an dan 1990-an, begitu juga situasi politik dan dukungan Negara kepada dunia teater yang menurut mereka semakin berkurang membuat mereka harus menyesuaikan diri dengan tuntutan jaman. Selain usaha di bidang artistik, Gandrik juga berusaha untuk memperbaiki manajemen untuk membantu memperbaiki kinerja kelompok, melalui perekrutan orang-orang baru yang berusia lebih muda.
Kini Gandrik sudah berusia 26 tahun, pertemanan antar personil Gandrik mungkin sudah seperti keluarga besar. Berbagai macam prestasi maupun kebanggaan dari dunia teater telah mereka kecap, nama mereka sudah dikenal luas dalam dunia teater Indonesia, juga para pengamat teater di luar negeri. Gaya pertunjukan mereka menjadi ikon atas kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, yang genit, lugu, tapi juga dengan cerdas menohok para penguasa atau mereka yang tidak punya empati kepada kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Namun bagi para personil Gandrik tidak ada alasan untuk berhenti mencari dan menemukan idiom-idiom teater, masing-masing personil menyimpan kegelisahannya untuk terus disampaikan kepada masyarakat luas. Heru Kesawa Murti dan Jujuk Prabowo sama-sama bersepakat, tanpa kegelisahan itu mereka tak punya alasan lagi untuk berkumpul dan berkarya.



Sumber:
Agus Noor, Keluarga Tot Teater Gandrik, Buku Pertunjukan Keluarga Tot, Teater Gandrik 2009
Daftar Pertunjukan Teater Gandrik 1983 – 1999, Arsip Teater Gandrik
Kusen Alipah Hadi, Mengenal Gandrik Dari Dalam, Buku Pertunjukan Keluarga Tot, Teater Gandrik, 2009
Profil Teater Gandrik, http://www.kuaetnika.com/gandrik.php?ver=ina
Wawancara dengan Heru Kesawa Murti, Kamis 12 November 2009 di Padepokan Bagong Kussudiardja
Wawancara dengan Jujuk Prabowo, Jumat 13 November 2009 di Padepokan Bagong Kussudiardja